Teori Berguru Dan Jenis-Jenis Teori Berguru
![]() |
JENIS-JENIS TEORI BELAJAR |
Dalam proses mengajar belajar, penguasaan seorang guru dan cara menyampaikannya ialah syarat yang sangat essensial. Penguasaan guru terhadap materi pelajaran dan pengelolaan kelas sangatlah penting, namun demikian belum cukup untuk menghasilkan pembelajaran yang optimal. Selain menguasai materi matematika guru sebaiknya menguasai perihal teori-teori belajar, supaya dapat mengarahkan peserta didik berpartisipasi secara intelektual dalam belajar, sehingga mencar ilmu menjadi bermakna bagi siswa. Hal ini sesuai dengan isi lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 ihwal Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang sebut bahwa penguasaan teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik menjadi salah satu unsur kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru.
Jika seorang guru akan menerapkan suatu teori belajar dalam proses belajar mengajar, maka guru tersebut harus memahami seluk beluk teori belajar tersebut sehingga selanjutnya dapat merancang dengan baik bentuk proses belajar mengajar yang akan dilaksanakan. Adapaun pengertian Teori Belajar yaitu teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) siswa.
Penjelasan diberikut merangkum aneka macam jenis Teori belajar, antara lain:
Terdapat dua aliran dalam psikologi belajar, yakni aliran psikologi tingkah laris (behavioristic) dan aliran psikologi kognitif.
1. TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
Psikologi mencar ilmu atau disebut juga dengan teori belajar yaitu teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) individu (Suherman, dkk: 2001: 30). Didalamnya terdapat dua hal, yaitu 1) uraian ihwal apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual; dan 2) uraian perihal kegiatan intelektual anak terkena hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu. Dikenal dua teori belajar, yaitu teori belajar tingkah laku (behaviorism) dan teori mencar ilmu kognitif. Teori belajar tingkah laku ditetapkan oleh Orton (1987: 38) sebagai suatu keyakinan bahwa pembelajaran terjadi melalui hubungan stimulus (rangsangan) dan respon (response). Berikut dipaparkan empat teori belajar tingkah laris yaitu teori mencar ilmu dari Thorndike, Skinner, Pavlov, dan Bandura.
a. Teori Belajar dari Thorndike
Edward Lee Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan Law of effect. Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akhir anak mendapatkan kebanggaan atau ganjaran lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement. Sesudah anak berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai akhir sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan diberikutnya.
Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga teori mencar ilmu koneksionisme.Pada hakikatnya belajar ialah proses pembentukan korelasi antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum yang terkait dengan teori koneksionisme yaitu hukum kesiapan (law of readiness), aturan tes (law of exercise) dan aturan akhir (law of effect).
1) Hukum kesiapan (law of readiness) menerangkan kesiapan seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu kemudian melakukan kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-tindakan lain yang dia lakukan tidak menyebabkan kepuasan bagi dirinya.
2) Hukum tes (law of exercise) menyatakan bahwa jika korelasi stimulus- respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat, sedangkan makin jarang korelasi stimulus-respon dipergunakan, maka makin lemah hubungan yang terjadi. Hukum tes pada dasarnya menggunakan dasar bahwa stimulus dan respon akan memiliki korelasi satu sama lain secara kuat, jikalau proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini dilakukan maka korelasi yang terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak yang dihadapkan pada suatu persoalan yang sering dijumpainya akan segera melaksanakan tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.
3) Hukum akibat (law of effect) menerangkan bahwa apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan mempersembahkan kepuasan bagi anak, dan anak cenderung untuk berusaha melaksanakan atau meningkatkan apa yang sudah dicapainya itu. Selanjutnya Thorndike mengemukakan aturan komplemen sebagai diberikut:
1) Hukum reaksi bervariasi (law of multiple response)
Individu dipertamai dengan proses trial and error yang memberikan bermacam- macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan kasus yang dihadapi.
2) Hukum sikap (law of attitude)
Perilaku belajar seseorang tidak spesialuntuk ditentukan oleh hubungan stimulus dan respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
3) Hukum aktivitas berat sebelah (law of prepotency element)
Individu dalam proses belajar mempersembahkan respons pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
4) Hukum respon melalui analogi (law of response by analogy)
Individu dapat melaksanakan respons pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang sudah dikenal ke situasi baru. Semakin banyak unsur yang sama, maka transfer akan semakin gampang.
5) Hukum perpindahan asosiasi (law of associative shifting)
Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya, Thorndike mengemukakan revisi aturan mencar ilmu antara lain:
1) Hukum tes ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus-respons, sebaliknya tanpa pengulangan belum tentu akan memperlemah korelasi stimulus-respons.
2) Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena dalam penelitiannya lebih lanjut ditemukan bahwa spesialuntuk sebagian saja dari hukum ini yang benar. Jika didiberikan hadiah (reward) maka akan meningkatkan hubungan stimulus-respons, sedangkan jikalau didiberikan eksekusi (punishment) tidak berakibat apa-apa
3) Syarat utama terjadinya hubungan stimulus-respons bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respons.
4) Akibat suatu perbuatan sanggup menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari yaitu bahwa:
1) Untuk menerangkan suatu konsep, guru sebaiknya mengambil contoh yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati.
2) Metode pemdiberian tugas, metode tes (drill dan practice) akan lebih cocok untuk penguatan dan hafalan. melaluiataubersamaini penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respon yang didiberikan pun akan lebih banyak.
3) Hierarkis penyusunan komposisi materi dalam kurikulum ialah hal yang penting.Materi disusun dari materi yang gampang, sedang, dan sukar sesuai dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih gampang sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar. melaluiataubersamaini kata lain topik (konsep) prasyarat harus dikuasai doloe supaya sanggup memahami topik diberikutnya.
b. Teori Belajar Pavlov
Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Terkait dengan kegiatan belajar mengajar, agar siswa belajar dengan baik maka harus dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menerangkannya, atau memdiberi nilai terhadap hasil pekerjaannya.
c. Teori Belajar Skinner
Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar. Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran ialah respon yang sifatnya menggembirakan dan ialah tingkah laku yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan ialah sesuatu yang menjadikan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah pada hal-hal yang sanggup diamati dan diukur.
Skinner menyatakan bahwa penguatan terdiri atas penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jikalau penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku anak dalam melakukan pengulangan perilakunya itu. Dalam hal ini penguatan yang didiberikan pada anak memperkuat tindakan anak, sehingga anak semakin sering melakukannya. misal penguatan positif diantaranya adalah pujian yang didiberikan pada anak. Sikap guru yang bergembira pada saat anak menjawaban pertanyaan, ialah penguatan positif pula. Untuk mengubah tingkah laku anak dari negatif menjadi positif, guru perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan (memprediksi) dan mengendalikan tingkah laku anak. Guru di dalam kelas mempunyai kiprah untuk mengarahkan anak dalam aktivitas belajar, karena pada saat tersebut, kontrol berada pada guru, yang berwenang mempersembahkan arahan ataupun larangan pada anak didiknya.
Penguatan akan berbekas pada diri anak. Mereka yang mendapat pujian sesudah berhasil menyelesaikan tugas atau menjawaban pertanyaan biasanya akan berusaha memenuhi tugas diberikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau kebanggaan akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang diraihnya. Penguatan ibarat ini sebaiknya segera didiberikan dan tak perlu ditunda-tunda. Karena penguatan akan berbekas pada anak, sedangkan hasil penguatan diharapkan positif, maka penguatan yang didiberikan tentu harus diarahkan pada respon anak yang benar. Janganlah mempersembahkan penguatan atas respon anak jikalau respon tersebut sebetulnya tidak diperlukan.
Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas pencapaian tujuan) harus segera didiberi penguatan positif agar respon tersebut lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan. Sebaliknya jikalau respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak menunjang tujuan pengajaran, harus segera didiberi penguatan negatif supaya respon tersebut tidak diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang sifatnya positif. Penguatan negatif ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif).
d. Teori mencar ilmu Bandura (Teori Belajar Sosial /Social Learning Theory)
Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru. Pengertian meniru di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik, maka siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun menirunya. melaluiataubersamaini demikian guru harus menjadi manusia model yang profesional.
Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Teori belajar sosial dari Bandura ini ialah gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku. Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1) Reciprocal determinism
Pendekatan yang menerangkan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara kognitif, tingkah laku, dan lingkungan. Orang menentukan/ mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu.
2) Beyond reinforcement
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang malah tidak mencar ilmu apapun. Menurutnya, reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melaksanakan sesuatu spesialuntuk dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya.
Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti tingkah laris ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.
3) Self-regulation/cognition
Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidakmampuan mereka untuk menerangkan proses kognitif. Konsep bandura menempatkan insan sebagai pribadi yang sanggup mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, dan mengadakan onsekuensi bagi bagi tingkah lakunya sendiri.
Prinsip dasar mencar ilmu sosial (social learning) adalah:
1) Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
2) Dalam hal ini, seorang siswa mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/sekelompok orang yang mereaksi/merespon sebuah stimulus tertentu.
3) Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya: guru/orang tuanya. Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan susila siswa ditekankan pada perlunya penyesuaian merespons (conditioning) dan peniruan (imitation).
Teori belajar sosial memiliki banyak implikasi untuk penerapan di dalam kelas, yaitu:
1) Siswa sering mencar ilmu spesialuntuk dengan mengamati orang lain, yaitu guru.
2) Menggambarkan konsekuensi sikap yang sanggup secara efektif meningkatkan perilaku yang sesuai dan menurunkan yang tidak pantas. Hal ini sanggup melibatkan berdiskusi dengan pelajar ihwal imbalan dan konsekuensi dari berbagai perilaku.
3) Modeling menyediakan alternatif untuk membentuk perilaku baru untuk mengajar. Untuk mempromosikan model yang efektif, seorang guru harus memastikan bahwa empat kondisi esensial ada, yaitu perhatian, retensi, motor reproduksi, dan motivasi
4) Guru dan orangtua harus menjadi model perilaku yang sesuai dan berhati-hati supaya mereka tidak menjiplak perilaku yang tidak pantas,
5) Siswa harus percaya bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Sehingga sangat penting untuk mengembangkan rasa efektivitas diri untuk siswa. Guru dapat meningkatkan rasa efektivitas diri siswa dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri siswa, memperlihatkan pengalaman orang lain menjadi sukses, danmenceritakan pengalaman sukses guru atau siswa itu sendiri.
6) Guru harus memmenolong siswa memutuskan cita-cita yang realistis untuk prestasi akademiknya. Guru harus memastikan bahwa target prestasi siswa tidak lebih rendah dari potensi siswa yang bersangkutan.
7) Teknik pengaturan diri menyediakan metode yang efektif untuk meningkatkan perilaku siswa.
2. TEORI BELAJAR VYGOTSKY
Menurut pandangan konstruktivisme perihal belajar, individu akan menggunakan pengetahuan siap dan pengalaman pribadiyang sudah dimilikinya untuk memmenolong memahami masalah atau materi baru. King (1994) menyatakan bahwa individu dapat menciptakan inferensi perihal informasi baru itu, menarikdanunik perspektif dari beberapa aspek pada pengetahuan yangdimilikinya, mengelaborasi materi gres dengan menguraikannya secara rinci, dan menggeneralisasi korelasi antara materi gres dengan informasi yang sudah ada dalam memori siswa. Aktivitas mental seperti inilah yang memmenolong siswa mereformulasi informasi baru atau merestrukturisasi pengetahuan yang sudah dimilikinya menjadi suatu struktur kognitif yang lebih luas/lengkap sehingga mencapai pemahaman mendalam.
Lev Semenovich Vygotsky ialah tokoh penting dalam konstruktivisme sosial. Vygotsky menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) ialah jarak antara tingkat perkembangan aktual (yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri) dan tingkat perkembangan potensial (yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan kawan sejawat yang lebih mampu). Yang dimaksud dengan orang cukup umur yaitu guru atau orang tua.
Scaffolding ialah pemdiberian sejumlah menolongan kepada siswa selama tahap- tahap pertama pembelajaran, kemudian mengurangi menolongan dan mempersembahkan peluang untuk mengambil alih tanggung jawaban yang semakin besar sesudah ia sanggup melakukannya. pertolongan tersebut sanggup berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, mempersembahkan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu mencar ilmu mandiri
Berdasarkan uraian di atas, Vygotsky menekankan bahwa pengkonstruksian pengetahuan seorang individu dicapai melalui interaksi sosial. Proses pengkonstruksian pengetahuan seperti yang dikemukakan Vygotsky paling tidak dapat diilustrasikan dalam beberapa tahap seperti pada Gambar 2. Tahap perkembangan aktual (Tahap I) terjadi pada saat siswa berusaha sendiri menyudahi konflik kognitif yang dialaminya. Perkembangan aktual ini sanggup mencapai tahap maksimum apabila kepada mereka dihadapkan masalah menantang sehingga terjadinya konflik kognitif di dalam dirinya yang memicu dan memacu mereka untuk menggunakan segenap pengetahuan dan pengalamannya dalam menuntaskan kasus tersebut.
Perkembangan potensial (Tahap II) terjadi pada saat siswa diberinteraksi dengan pihak lain dalam komunitas kelas yang memiliki kemampuan lebih, ibarat kawan dan guru, atau dengan komunitas lain seperti orang tua. Perkembangan potensial ini akan mencapai tahap terbaik jikalau pembelajaran dilakukan secara kooperatif (cooperative learning) dalam kelompok kecil dua sampai empat orang dan guru melaksanakan intervensi secara proporsional dan terarah. Dalam hal ini guru dituntut terampil menerapkan metode scaffolding yaitu memmenolong kelompok secara tidak langsung menggunakan metode bertanya dan metode probing yang efektif, atau mempersembahkan petunjuk (hint) seperlunya.
Proses pengkonstruksian pengetahuan ini terjadi rekonstruksi mental yaitu berubahnya struktur kognitif dari skema yang sudah ada menjadi skema baru yang lebih lengkap. Proses internalisasi (Tahap III) menurut Vygotsky ialah acara mental tingkat tinggi jika terjadi karena adanya interaksi sosial. Jika dikaitkan dengan teori perkembanga mental yang dikemukakan Piaget, internalisasi ialah proses penyeimbangan struktur-struktur internal dengan masukan-masukan eksternal. Proses kognitif seperti ini, pada tingkat perkembangan yang lebih tinggi diakibatkan oleh rekonseptualisasi terhadap masalah atau informasi sedemikian sehingga terjadi keseimbangan (keharmonisan) dari apa yang sebelumnya dipandang sebagai perperihalan atau konflik. Pada level ini, diharapkan intervensi yang dilakukan secara sengaja oleh guru atau yang lainnya sehingga proses asimilasi dan akomodasi berlangsung dan menjadikan terjadinya keseimbangan (equilibrium).
Aplikasi pemikiran Vygotsky untuk mempelajari matematika menumbuhkan pemahaman matematika dari koneksi pemikiran dengan bahasa matematika yang baru dalam mengkreasipengetahuan. Mengkonstruksi pengetahuan ialah serius yang krusial dari pembelajaran Matematika. Vygotsky percaya bahwa siswa belajar untuk menggunakan bahasa baru dengan internalisasi pengetahuan dari kata yang mereka katakan, pengembangan budaya siswa dari pengetahuan kata dua proses fungsi. Pertama, pada tingkat sosial dan kedua, pada tingkat individual dimana pengetahuan kata digeneralisasikan sebagai pemahaman.
Siswa menggunakandan menginternalisasikan kata-kata baru yang saat itu diperoleh dari orang lain. Mereka selalu menemukan diri mereka sendiri dalam Zona Pengembangan Proksimal (ZPD) sebagai pelajaran baru. ZPD ialah tempat pengetahuan seseorang di antara pengetahuan saat itu dengan pengetahuan potensialnya.
3. TEORI BELAJAR VAN HIELE
Dalam pembelajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh van Hiele (1954) yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitiandalam pembelajaran geometri. Penelitian yang dilakukan van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan terkena tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. van Hielemenyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan akurasi.
a) Tahap Visualisasi (Pengenalan)
Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (holistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen- komponen dari masing-masing bangun. melaluiataubersamaini demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri berdiri persegipanjang tersebut.
b) Tahap Analisis (Deskriptif)
Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri- ciri dari masing-masing bangun. melaluiataubersamaini kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun ialah persegipanjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan tiruana sudutnya siku-siku.”
c) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)
Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
d) Tahap Deduksi
Pada tingkat ini (1) siswa sudah dapat mengambil kesimpulan secara deduktif, yakni menarikdanunik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus, (2) siswa bisa memahami pengertian-pengertian pertama, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu memakai proses berpikir tersebut.
Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360° secara deduktif dibuktikan dengan memakai prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian sesudah itu ditunjukkan tiruana sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360° belum tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut- sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara deduktif ialah cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.
Anak pada tahap ini sudah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada tahap ini belum dapat menjawaban pertanyaan: “mengapa sesuatu itu perlu disajikan dalam bentuk teorema atau dalil?”
e) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip- prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan ialah tahap tertinggi dalam memahami geometri.
Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit, siswa mampu melakukan penalaran secara formal perihal sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jikalau salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Selain mengemukakan terkena tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, van Hiele juga mengemukakan bahwa terdapat tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat menjadikan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.
Menurut van Hiele, tiruana anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap diberikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa. Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti.
Menurut van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya, anak itu gres bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian. Adapun fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan kiprah guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu. Fase-fase pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi, 2) fase orientasi, 3) fase eksplisitasi, 4) fase orientasi bebas, dan 5) fase integrasi.
Berdasar hasil penelitian di beberapa negara, tingkatan dari van Hiele berkhasiat untuk menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD hingga Perguruan Tinggi.
Van de Walle (1990:270) menciptakan deskripsi aktivitas yang lebih sederhana dibandingkan dengan deskripsi yang dibuat Crowley. Menurut Van de Walle aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah:
a. Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1) Melibatkan penerapan model fisik yang dapat digunakan untuk memanipulasi.
2) Melibatkan berbagai contoh bangun-bangun yang bervariasi dan tidak sama sehingga sifat yang tidak relevan sanggup diabaikan.
3) Melibatkan kegiatan memilih, mengidentifikasi dan mendeskripsikan berbagai bangun, dan
4) Menyediakan peluang untuk membentuk, menciptakan, menggambar, menyusun atau menggunting bangun.
b. Aktivitas tahap 1 (analisis)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1) Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama model-model yang sanggup dipakai untuk mendeskripsikan berbagai sifat bangun.
2) Mulai lebih menseriuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi
3) Mengklasifikasi bangun berdasar sifat-sifatnya berdasarkan nama berdiri tersebut.
4) Menggunakan pemecahan kasus yang melibatkan sifat-sifat bangun.
c. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1) Melanjutkan pengklasifikasian model dengan serius pada pendefinisian sifat, menciptakan daftar sifat dan mendiskusikan sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu berdiri atau konsep.
2) Memuat penerapan bahasa yang bersifat deduktif informal, contohnya tiruana, suatu, dan jikalau – maka, serta mengamati validitas konversi suatu relasi.
3) Menggunakan model dan gambar sebagai masukana untuk berpikir dan mulai mencari generalisasi atau kontra
4. TEORI BELAJAR AUSUBEL
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Ausubel memdiberi penekanan pada proses belajar yang bermakna. Teori belajar Ausubel terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Menurut Ausubel belajar dapat dikalifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama bekerjasama dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang sudah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang sudah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang sudah dimilikinya, dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi, siswa itu dapat juga spesialuntuk mencoba-coba menghafalkan informasi gres itu, tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitifnya, dalam hal ini terjadi belajar hafalan
Belajar bermakna ialah suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dalam belajar bermakna informasi baru diasimilasikan pada subsume-subsume yang sudah ada. Ausubel membedakan antara belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada belajar menerima siswa spesialuntuk menerima, jadi tinggal menghapalkannya, sedangkan pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi siswa tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu terdapat perbedaan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna, pada belajar menghapal siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, sedangkan pada belajar bermakna materi yang sudah diperoleh itu dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.
Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1988:116) prasyarat-prasyarat belajar bermakna ada dua sebagai diberikut. (1) Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial; kebermaknaan materi tergantung dua faktor, yakni materi harus memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. (2) Siswa yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna. melaluiataubersamaini demikian mempunyai kesiapan dan niat untuk mencar ilmu bermakna.
Prinsip-prinsip dalam teori mencar ilmu Ausubel
Menurut Ausubel faktor yang paling penting yang mensugesti mencar ilmu yaitu apa yang sudah diketahui siswa. Jadi agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a.Pengaturan Awal (advance organizer). Pengaturan Awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan dipelajari dan mengingatkan siswa pada materi sebelumnya yang dapat digunakanm siswa dalam memmenolong menanamkan pengetahuan baru.
b.Diferensiasi Progresif. Pengembangan konsep berlangsung paling baik jika unsur-unsur yang paling umum,paling inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terklebih lampau, dan kemudian barudidiberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Menurut Sulaiman (1988: 203) diferensiasi progresif adalah cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan secara heirarkhis sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara terpisah dari satu kesatuan yang besar.
c. Belajar Superordinat. Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif (subsumsi), konsep itu tumbuh dan mengalami diferensiasi. Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang sudah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif.
d. Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif). Mengajar bukan spesialuntuk urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsepbaru dihubungkan pada konsep- konsep superordinat. Guru harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan dan diperperihalkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi kini mengambil arti baru.
Penerapan Teori Ausubel dalam Pembelajaran
Untuk menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, Dadang Sulaiman (1988) menyarankan agar menggunakan dua fase, yakni fase perencanaan dan fase pelaksanaan. Fase perencanaan terdiri dari menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan pengaturan pertama. Sedangkan fase pelaksanaan dalam pemebelajaran terdiri dari pengaturan pertama, diferensiasi progresif, dan rekonsiliasi integratif.
5. TEORI BELAJAR BRUNER
Jerome Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dari Universitas Haevard, Amerika Serikat, yang sudah mempelopori aliran psikologi belajar kognitif yang mempersembahkan dorrongan agar pendidikan mempersembahkan perhatian pada pentingnya pengembangan berpikir. Bruner banyak mempersembahkan pandangan terkena perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar atau memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan mentransformasikan pengetahuan. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jikalau proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antar konsep-konsep dan struktur-struktur. melaluiataubersamaini mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini memberikan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih gampang dipahami dan diingat anak.
Menurut Bruner (dalam Hudoyo, 1990:48) belajar matematika adalah mencar ilmu terkena konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari, serta mencari korelasi antara konsep-konsep dan struktur- struktur matematika itu. Siswa harus dapat menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang bekerjasama dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa. melaluiataubersamaini demikian siswa dalam belajar, haruslah terlibat aktif mentalnya agar dapat mengenal konsep dan struktur dalam materi yang sedang dibicarakan. melaluiataubersamaini demikian materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih praktis dipahami oleh anak.
Dalam bukunya (Bruner, 1960) mengemukakan empat tema pendidikan, yakni: (1) Pentingnya arti struktur pengetahuan. Kurikulum hendaknya mementingkan struktur pengetahuan, alasannya dalam struktur pengetahuan kita menolong para siswa untuk melihat. (2) Kesiapan (readiness) untuk belajar. Menurut Bruner (1966:29), kesiapan terdiri atas penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana yang memungkinkan seorang untuk mncapai keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi. (3) Nilai intuisi dalam proses pendidikan. Intuisi adalah metode-metode intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu ialah kesimpulan-kesimpulan yang sahih atau tidak, serta (4) motivasi atau keinginan untuk mencar ilmu beserta cara-cara yang dimiliki para guru untuk merangsang motivasi itu.
Belajar sebagai Proses Kognitif
Menurut Bruner dalam mencar ilmu melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses tersebut yaitu (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi, dan (3) menguji relevan informasi dan ketepatan pengetahuan. Dalam belajar informasi baru ialah penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang memperlakukan pengetahuan agar cocok atau sesuai dengan kiprah baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah menjadi bentuk lain.
Kita menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan dengan minilai apakah cara kita memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan kiprah yang ada. Bruner menyebut pandangannya perihal belajar atau pertumbuhan kognitif sebagai konseptualisme instrumental . Pandangan ini berpusat pada dua prinsip, yaitu: (1) pengetahuan seseorang perihal alam didasarkan pada model-model
perihal kenyataan yang dibangunnya dan (2) model-model semacam itu mula-mula diadopsi dari kebudayaan seseorang, kemudian model-model itu diubahsuaikan pada kegunaan bagi orang yang bersangkutan. Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang berdasarkan Bruner yaitu sebagai diberikut.
a. Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya ketidak-tergantungan respons dari sifat stimulus. Dalam hal ini ada kalanya seorang anak mempertahankan suatu respons dalam lingkungan stimulus yang berubah-ubah, atau mencar ilmu mengubah responnya dalam lingkungan stimulus yang tidak berubah. Melalui pertumbuhan, seseorang memperoleh kebebasan dari pengontrolan stimulus melalui proses-proses perantara yang mengubah stimulus sebelum respons.
b. Pertumbuhan intelektual tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjdi suatu sistem simpanan (storage system) yang sesuai dengan lingkungan. Sistem inilah yang memungkinkan peningkatan kemampuan anak untuk bertindak di atas informasi yang diperoleh pada suatu peluang. Ia melakukan ini dengan membuat ramalan-ramalan, dan ektrapolasi-ekstrapolasi dari model alam yang disimpannya.
c. Pertumbuhan intelektual menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk berkata pada dirinya sendiri atau pada orang lain, dengan pertolongan kata-kata dan simbol-simbol, apa yang sudah dilakukan atau apa yang dilakukan.
Bruner (1966) mengemukakan bahwa terdapat tiga sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuan-kemampuan secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presents), yaitu:
a. Teknik penyajian enaktif
Teknik penyajian enaktif adalah melalui tindakan, anak terlibat secara eksklusif dalam memanipulasi (mengotak-atik )objek, sehingga bersifat manipulatif. Anak belajar sesuatu pengetahuan secara aktif, dengan menggunakan benda- benda konkret atau situasi nyata. melaluiataubersamaini cara ini anak mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Teknik ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik. Dalam cara penyajian ini anak secara eksklusif terlihat.
b. Teknik penyajian ikonik
Teknik penyajian ikonik didasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik, yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang ialah gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif. Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir.
c. Teknik penyajian simbolik
Teknik penyajian simbolik didasarkan pada sistem berpikir abstrak, arbitrer, dan lebih fleksibel. Dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah mampu memakai notasi tanpa ketergantungan terhadap objek lain.
Dari hasil penelitiannya Bruner mengungkapkan dalil-dalil terkait penguasaan konsep-kosep oleh anak. Dalil-dalil tersebut adalah dalil-dalil penyusunan (construction theorem), dalil notasi (notation theorem), dalil kekontrasan dan dalil variasi (contrast and variation theorem), dalil pengaitan (connectivity theorem).
6. TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL
Konsep motivasi belajar berkaitan erat dengan prinsip bahwa perilaku yang memperoleh penguatan(reinforcement) di masa lalu lebih memiliki kemungkinan diulang dibandingkan dengan perilaku yang tidak memperoleh penguatan atau perilaku yang terkena eksekusi (punishment). Dalam kenyataannya, daripada mengulas konsep motivasi belajar, penganut teori perilaku lebih memseriuskan pada seberapa jauh siswa sudah belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka mendapatkan hasil yang diinginkan (Bandura, 1986 dan Wielkeiwicks, 1995).
7. TEORI BELAJAR SOSIAL
Dalam dasawarsa terakhir, penganut teori konstruktivisme memperluas serius tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif dan sosial. Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan antara aspek-aspek dari karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Vyangotsky. Istilah Konstruktivisme komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001. Dalam model ini, "siswa tidak spesialuntuk mengikuti pembelajaran ibarat halnya air mengalir melalui saenteng namun membiarkan mereka membentuk dirinya." Dalam perkembangannya muncullah istilah Teori Belajar Sosial dari para pakar pendidikan. Pijakan pertama teori belajar sosial adalah bahwa manusia belajar melalui pengamatannya terhadap perilaku orang lain. Pakar yang paling banyak melakukan riset teori belajar sosial yaitu Albert Bandura dan Bernard Weiner.
Meskipun classical dan operant conditioning dalam hal-hal tertentu masih ialah tipe penting dari belajar, namun orang mencar ilmu ihwal sebagian besar apa yang ia ketahui melalui observasi (pengamatan). Belajar melalui pengamatan tidak sama dari classical dan operant conditioning karena tidak membutuhkan pengalaman personal langsung dengan stimuli, penguatan kembali, maupun hukuman. Belajar melalui pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan sikap orang lain, yang disebut model, dan kemudian menjiplak sikap model tersebut.
Baik anak-anak maupun orang dewasa belajar banyak hal dari pengamatan dan imitasi (peniruan) ini. Anak muda belajar bahasa, keterampilan sosial, kebiasaan, ketakutan, dan banyak perilaku lain dengan mengamati orang tuanya atau anak yang lebih dewasa. Banyak orang belajar akademik, atletik, dan keterampilan musik dengan mengamati dan kemudian menirukan gueunya. Menurut psikolog Amerika Serikat kelahiran Kanada Albert Bandura, penggagas dalam studi ihwal mencar ilmu melalui pengamatan, tipe mencar ilmu ini memainkan kiprah yang penting dalam perkembangan kepribadian anak.
Bandura menemukan bukti bahwa belajar sifat-sifat seperti keindustrian, keramahan, pengendalian diri, keagresivan, dan ketidak sabaran sebagian dari meniru orang tua, anggota keluarga lain, dan kawan-kawannya.
8. TEORI BELAJAR GESTALT
Menurut pandangan teori gestalt seseorng memperoleh pengetahuan melaui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunya kembali dalam struktur yang sederhana sehnigga lebih praktis dipahami.
Manfaat dari beberapa teori mencar ilmu yaitu :
· Memmenolong guru untuk memahami bagaimana siswa mencar ilmu
· Membimbing guru untuk merancang dan merencanakan proses pembelajaran
· Memandu guru untuk mengelola kelas
· Memmenolong guru untuk mengevaluasi proses, sikap guru sendiri serta hasil mencar ilmu siswa yang sudah dicapai
· Memmenolong proses mencar ilmu lebih efektif, efisien dan produktif
· Memmenolong guru dalam mempersembahkan dukungan dan menolongan kepada siswa sehingga sanggup mencapai hasil prestasi yang terbaik.
9. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan dapat diartikan Konstruktivisme yaitu suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.
Konstruktivisme ialah landasan berpikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memdiberi makna melalui pengalaman nyata. melaluiataubersamaini teori konstruktivisme siswa sanggup berpikir untuk menuntaskan masalah, mencari idea dan menciptakan keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat eksklusif dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan bisa mengapliklasikannya dalam tiruana situasi. Selian itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih usang tiruana konsep.
10. TEORI KECERDASAN GANDA
Teori kecerdasan ganda (Multiple intelegence) ialah teori yang dikemukakan oleh Howard Gardner dari Harvard University yang diuraikan pada tahun 1984 dalam buku Frame Of Mind: The Multiple Intelegence. Pada dasarnya, teori ini menggabungkan antara potensi-potensi otak kanan dan otak kiri sehingga potensi-potensi tersebut dapat berjalan optimal. Kecerdasan ialah potensi yang dimiliki seseorang yang dapat diaktifkan melalui proses belajar, interaksi dengan keluarga, guru, kawan dan nilai-nilai budaya yang berkembang. Kecerdasan mengandung dua aspek pokok yaitu; kemampuan belajar dari pengalaman dan mengikuti keadaan terhadap lingkungan.
loading...
0 Response to "Teori Berguru Dan Jenis-Jenis Teori Berguru"
Posting Komentar