Fatwa Mui Wacana Penggunaan Media Umum (Medsos)
![]() |
| FATWA MUI TENTANG HUKUM DAN PEDOMAN BERMUAMALAH MELALUI MEDIA SOSIAL |
Akhir-akhir ini kerap muncul kasus aturan berbasis media digital ibarat fitnah, ujaran kebencian, bullying, permusuhan, hoax, intimidasi, pornografi serta banyak sekali tindakan pelanggaran aturan dan etika. Kasus tersebut muncul karena kurang fahamnya masyarakat dalam bermuamalah melalui media sosial.
Namun, sekarang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan Fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Fatwa tersebut ditanhadirani Ketua Fatwa MUI Prof Hasanuddin AF dan sekretarisnya Asrorun Ni'am Sholeh dan diputuskan di Jakarta semenjak 13 Mei 2017.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni'am Sholeh mengatakan, MUI sebelumnya sudah melaksanakan kajian untuk merespons kasus-kasus yang muncul di media sosial. Menurut dia, teknologi dan informasi memang mempunyai kemanfaatan untuk meningkatkan silaturahim. Namun, di sisi lain penerapan media umum kerap sekali memunculkan beberapa kasus.
Karena itu, berdasarkan dia, MUI memandang perlu untuk mempersembahkan bantuan keagamaan untuk menangani kasus-kasus tersebut, yaitu dengan mengeluarkan fatwa. Apalagi, sudah banyak ulama yang meminta untuk dikeluarkannya fatwa.
"Alhamdulillah momentum Ramadhan ini kita sampaikan dengan cita-cita ini menjadi panduan untuk bermuamalah di media sosial," ungkapnya dalam diskusi MUI yang digelar bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di Ruang Serbaguna Kementerian Kominfo, Jakarta Pusat, Senin (5/6).
Asrorun menuturkan, setidaknya ada sembilan poin yang menjadi ketentuan aturan dalam fatwa tersebut. Di antaranya ialah setiap Muslim yang bermualamah di media umum diharamkan untuk melaksanakan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan. Selain itu, juga mengharamkan hoax dan menyebarkan bahan pornografi.
Muslim Haram Menyebarkan Pesan Palsu atau Hoaks
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Hasanuddin AF mengatakan, setiap Muslim haram untuk menyebar pesan tiruan atau hoaks di media umum meskipun mempunyai tujuan yang baik.
"Haram menyebarkan hoaks atau informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, ibarat info tentang final hidup orang yang masih hidup," kata Hasanuddin di Jakarta, Senin.
Dia menyampaikan aturan terkait muamalah Muslim di media umum itu tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial bertanggal 13 Mei 2017.
Menyebar kabar benar, lanjut dia, juga sanggup menjadi haram kalau tidak sesuai dengan kawasan dan atau waktunya. Hasanuddin mengatakan, aturan haram juga berlaku bagi Muslim yang melaksanakan perundungan (bullying)di media sosial, termasuk untuk bergunjing, memfitnah, mengadu domba dan menebar permusuhan di dunia maya.
Menyebarkan konten pornografi dan maksiat, lanjut dia, juga haram sebab berperihalan dengan syariah. "Bermuamalah melalui media umum harus dilakukan tanpa melanggar ketentuan agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata dia.
Hasanuddin mengatakan, umat Islam harus senantiasa mengedepankan semangat tabayyun atau penjelasan terhadap pesan di media umum yang mempunyai potensi meliputi bahan benar dan salah. Singkatnya, fakta yang disajikan dalam media umum meski isinya baik belum tentu sesuai kebenaran dan bermanfaa.
Dalam proses tabayyun, kata dia, masyarakat harus memastikan sumber informasi tersebut meliputi kepribadian, reputasi, kelayakan dan keterpercayaannya.
Perlu juga, lanjut dia, untuk masyarakat dalam memastikan konteks tempat, waktu dan latar belakang ketika informasi disampaikan. Dia menyampaikan beberapa upaya lain sanggup ditempuh dalam mengklarifikasi pesan ibarat dengan bertanya kepada sumber informasi kalau diketahui.
Dapat juga dengan meminta penjelasan kepada pihak-pihak yang mempunyai otoritas dan kemampuan. "Sebaiknya umat Islam untuk mempererat persaudaraan baik persaudaraan ke-Islaman, kebangsaan maupun kemanusiaan lewat media sosial... Konten yang meliputi kebanggaan dan atau hal positif tentang seseorang atau kelompok belum tentu benar, sebab itu juga harus dilakukan 'tabayyun'," katanya
Berikut ini Salinan Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial
FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor : 24 Tahun 2017
Tentang
HUKUM DAN PEDOMAN
BERMUAMALAH MELALUI MEDIA SOSIAL
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحيْمِ
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, setelah :
Menimbang :
a. bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mempersembahkan kegampangan dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi di tengah masyarakat;
b. bahwa kegampangan berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui media digital berbasis media umum sanggup menhadirkan kemaslahatan bagi umat manusia, ibarat mempererat tali silaturahim, untuk kegiatan ekonomi, pendidikan dan kegiatan positif lainnya;
c. bahwa penerapan media digital, khususnya yang berbasis media umum di tengah masyarakat seringkali tidak disertai dengan tanggung tanggapan sehingga tidak jarang menjadi masukana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax¸ fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi tiruan, dan hal terlarang lainnya yang mengakibatkan disharmoni sosial;
d. bahwa pengguna media umum seringkali mendapatkan dan menyebarkan informasi yang belum tentu benar serta bermanfaa, bisa sebab sengaja atau ketidaktahuan, yang bisa menjadikan mafsadah di tengah masyarakat;
e. bahwa banyak pihak yang menjadikan konten media digital yang meliputi hoax, fitnah, ghibah, namimah, desas desus, kabar bohong, ujaran kebencian, malu dan kejelekan seseorang, informasi pribadi yang diumbar ke publik, dan hal-hal lain sejenis sebagai masukana memperoleh simpati, lahan pekerjaan, masukana provokasi, agitasi, dan masukana mencari laba politik serta ekonomi, dan terhadap duduk kasus tersebut muncul pertanyaan di tengah masyarakat terkena aturan dan pedomannya;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu memutuskan fatwa tentang aturan dan pedoman bermuamalah melalui media umum untuk dipakai sebagai pedoman.
Mengingat :
1. Al-Quran
• Firman Allah SWT yang memerintahkan pentingnya tabayyun (klarifikasi) ketika memperoleh informasi, antara lain:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلى ما فَعَلْتُمْ نادِمِينَ
Hai orang-orang yang diberiman, kalau hadir kepadamu orang fasik membawa suatu diberita, maka periksalah dengan teliti, semoga engkau tidak menimpakan suatu peristiwa alam kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang mengakibatkan engkau menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
• Firman Allah SWT yang melarang untuk menyebarkan praduga dan kecurigaan, mencari keburukan orang, serta menggunjing, antara lain
وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيم
Dan mengapa engkau tidak berkata, diwaktu mendengar diberita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini ialah dusta yang besar". (QS. An-Nur 16)
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang ingin semoga perbuatan yang sangat keji itu (diberita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang diberiman, mereka menerima azab yang pedih[23] di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedang engkau tidak mengetahui. (QS. An-Nur 19)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (الحجرات : ١٢)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (الحجرات : ١٢)
Hai orang-orang yang diberiman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), sebab sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan tidakbolehlah mencari-cari keburukan orang dan tidakbolehlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara engkau yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah engkau merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hujurat 49 : 12)
• Firman Allah SWT yang menegaskan keburukan pengumpat dan pencela serta larangan mengikutinya, antara lain:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela." (QS. Al-Humazah: 1).
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ
"Dan tidakbolehlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, yang suka mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah" (QS. Al-Qalam 10 – 11)
• Firman Allah SWT yang memerintahkan untuk berbuat adil sekalipun terhadap orang yang dibenci, antara lain:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang diberiman, hendaklah engkau jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) sebab Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan tidakbolehlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong engkau untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, sebab adil itu lebih bersahabat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang engkau kerjakan.(QS. Al-Maidah: 8)
• Firman Allah SWT yang menunjukan bahwa perbuatan menyakiti orang mukmin tanpa kesalahan yang mereka perbuat ialah dosa, antara lain:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (الأحزاب : ٥٨)
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka sudah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. al-Ahzab :58)
2. Hadis Nabi s.a.w.:
2. Hadis Nabi s.a.w.:
• Hadis Nabi saw yang memerintahkan jujur dan melarang berbohong, sebagaimana sabdanya:
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلىَ البِرِّ وَإِنَّ البرَّ يَهْدِيْ إِلىَ الجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتىَّ يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِيْقاً, وَإِيَّاكُمْ وَالكَذِبَ فَإِنَّ الكَذِبَ يَهِدِى إِلىَ الفُجُوْرِ وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِي إِلىَ النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كذاباً. (رواه مسلم(
Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Wajib atas kalian berlaku jujur, sebab sesungguhnya jujur itu menunjukkan (pelakunya) kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada Surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan jauhilah oleh kalian sifat dusta, sebab sesungguhnya dusta itu menunjukkan pelakunya kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada api Neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu berdusta sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta." (HR. Muslim)
• Hadis Nabi saw yang menunjukan pengertian tentang ghibah sebagaimana sabdanya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ "أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ". قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ "ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ". قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ "إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ" (رواه البخاري و مسلم )
Dari Abu Hurairah ra, bergotong-royong Rasulullah saw bersabda, "Tahukah kalian apa ghibah itu?" Para shababat menjawaban: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui". Beliau bersabda: "Ghibah itu ialah menceritakan tentang saudara kalian tentang hal yang ia benci." Ada yang bertanya:, "Bagaimana pendapatmu kalau yang saya ceritakan itu benar-benar nyata ada pada diri orang itu?, nabi pun menjawaban: "Jika apa yang engkau katakana tentang saudaramu itu benar adanya maka sudah melaksanakan ghibah kepadanya; namun apabila apa yang engkau katakan tidak benar, maka berarti engkau sudah melaksanakan kedustaan (fitnah) kepadanya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
• Hadis Nabi saw yang memerintahkan untuk bertutur kata yang baik dan menjadikannya sebagai salah satu indikator keimanan kepada Allah, sebagaimana sabdanya:
عن أبي هريرة رضي الله عنه، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "من كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فليقل خيرًا أو ليصمت .... " (رواه البخاري ومسلم)
Dari Abi Hurairah ra dari Rasulullah saw dia bersabda: "Barangsiapa yang diberiman kepada Allah dan hari final maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)
• Hadis Nabi saw yang mengkategorikan sebagai pembohong bagi setiap orang yang memberikan setiap hal yang didengarnya, sebagaimana sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قال : كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا، أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw dia bersabda, "Cukuplah seseorang (dianggap) berdusta kalau ia menceritakan tiruana yang ia dengar." (HR. Muslim)
• Hadis Nabi saw yang menunjukan perintah untuk menutupi malu orang lain sebagaimana sabdanya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ "الْمُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلَا يسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ" (رواه البخاري)
Dari Abdullah ibn 'Umar ra. bergotong-royong rasulullah saw bersabda: "Sesama orang muslim itu bersaudara. Tidak boleh berbuat zalim dan aniaya kepadanya. Barang siapa yang memmenolong memenuhi kebutuhan saudaranya pasti Allah SWT akan memenuhi kebutuhannya dan barang siapa yang memmenolong meentengkan kesusahan saudaranya pasti Allah SWT akan meentengkan kesusahannya di hari final zaman kelak. Dan barang siapa menutupi malu seorang muslim pasti Allah SWT akan menutupi aibnya di hari kiamat. (HR. al-Bukhari)
• Hadis Nabi saw yang menggambarkan sebagai orang gulung tikar (muflis) bagi orang yang suka mencela dan menuduh orang lain, sebagaimana sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ، فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra berkata, bergotong-royong Rasulullah SAW bersabda, 'Tahukah kalian siapakah orang yang muflis (bangkrut) itu? Para sobat bersahabat menjawaban, 'Orang yang muflis (bangkrut) diantara kami ialah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya harta.' Rasulullah SAW bersabda, 'Orang yang muflis (bankrut) dari umatku ialah orang yang hadir pada hari final zaman dengan (pahala) melaksanakan shalat, menjalankan puasa dan menunaikan zakat, namun ia juga hadir (membawa dosa) dengan mencela si ini, menuduh si ini, memakan harta ini dan menumpahkan darah si ini serta memukul si ini. Maka akan didiberinya orang-orang tersebut dari kebaikan-kebaikannya. Dan kalau kebaikannya sudah habis sebelum ia menunaikan kewajibannya, diambillah keburukan dosa-dosa mereka, kemudian dicampakkan padanya dan ia dilemparkan ke dalam neraka. (HR. Muslim)
• Hadis Nabi saw yang menunjukan salah satu identitas muslim ialah ketika orang lain merasa kondusif dari verbal dan perbuatannya sebagaimana sabdanya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهَ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ (رواه البخاري و مسلم )
Dari Abdullah ibn 'Amr ra. dari rasulullah saw dia bersabda: "Orang muslim ialah orang yang bisa membuat rasa kondusif orang lain, dengan menjaga verbal dan tangannya. Sedang orang yang hijrah ialah seseorang yang berpindah guna menjauhi hal-hal yang dihentikan oleh Allah SWT. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
• Hadis Nabi saw yang melarang terburu-buru, termasuk terburu-buru menyebar informasi sebelum ada kejelasannya, sebagaimana sabdanya:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "التَّأَنِّي مِنَ اللَّهِ، وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ " (أخرجه البيهقي)
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda: "Ketengangan itu hadir dari Allah SWT dan ketergesaan itu dari Setan" (HR. Al-Baihaki)
• Hadis Nabi SAW yang menunjukan eksekusi bagi orang yang suka bergunjing, antara lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ إِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ هِيَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ وَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرَّجُلَ يَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ صِدِّيقًا وَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا (رواه مسلم)
Dari 'Abdullah bin Mas'ud ra berkata: Nabi Muhammad saw bersabda: "Perhatikanlah, saya akan memdiberitahukan kepada kalian apa itu Al 'Adhu? Al 'Adhu ialah menggunjing dengan menyebarluaskan isu di tengah masyarakat." Rasulullah saw juga bersabda: "Sesungguhnya orang yang selalu berkata jujur akan dicatat sebagai seorang yang jujur dan orang yang selalu berdusta akan dicatat sebagai pendusta". (HR. Muslim)
عَنْ حُذَيْفَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ (رواه البخاري و مسلم )
"Tidak akan masuk surga, jago namimah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
• Hadis Nabi saw yang menunjukan larangan mengikuti prasangka tentang seseorang, juga mencari kesalahan dan menghina orang lain sebagaimana sabdanya:
• Hadis Nabi saw yang menunjukan larangan mengikuti prasangka tentang seseorang, juga mencari kesalahan dan menghina orang lain sebagaimana sabdanya:
عَنْ أبي هريرة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَ لَا تَجَسَّسُوْا وَ لَا تَنَافَسُوْا وَ لَا تَحَاسَدُوْا وَ لَا تَبَاغَضُوْا وَ لَا تَدَابَرُوْا وَ كُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Jauhilah berprasangka, sebab sesungguhnya prasangka ialah pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, tidakboleh saling menyombongkan diri (dalam hal duniawi), tidakboleh saling iri, saling membenci satu dengan yang lain, dan saling berpaling muka satu dengan yang lain. Jadilah kalian para hamba Allah bersaudara. (HR. al-Bukhari)
عَنْ أبي هريرة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: كل الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ مَالُهُ وَ عِرْضُهُ وَ دَمُهُ حَسْبَ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Setiap muslim atas muslim yang lainnya haram (terjaga) harta, kehormatan, dan darahnya. Merupakan suatu keburukan bila seseorang menghina saudaranya yang muslim. (HR. Abu Dawud)
3. Qa'idah sadd al-dzari'ah (سد الذريعة), yang menyatakan bahwa tiruana hal yang sanggup mengakibatkan terjadinya perbuatan haram ialah haram.
4. Qaidah Fiqhiyyah
الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اَلْإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى التَّحْرِيْمِ.
"Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya atau meniadakan kebolehannya".
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
"Menghindarkan mafsadat dilampaukan atas menhadirkan maslahat.
الضَّرَرُ يُزَالُ
"Bahaya harus dihilangkan."
اْلكِتَابُ كَالْخِطَابِ
"Tulisan itu (memiliki kedudukan hukum) ibarat ucapan
لا عبرة للتواهم.
Waham (hal yang masih hipotetik) tidak bisa dijadikan pegangan.
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan
Memperhatikan : 1. Pendapat para ulama:
• Imam al-Qurthubi dalam menafsirkan ayat al-Quran terkait ghibah:
Memperhatikan : 1. Pendapat para ulama:
• Imam al-Qurthubi dalam menafsirkan ayat al-Quran terkait ghibah:
"... قوله تعالى ﴿ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا ﴾ مَثَّلَ اللهُ الْغِيْبَةَ بِأَكْلِ الْمَيْتَةِ لِأَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَعْلَمُ بِأَكْلِ لَحْمِهِ كَمَا أَنَّ الْحَيَّ لَا يَعْلَمُ بِغِيْبِةِ مَنِ اغْتَابَهُ
Mengenai firman Allah SWT, ("Adakah seorang di antara engkau yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?") Allah SWT mengumpamakan terkena kejahatan ghibah dengan memakan daging orang mati sebab orang mati tidak sanggup mengetahui kalau dagingnya dimakan orang lain, ibarat ketika ia hidup tidak mengetahui orang mempergunjingkannya.
• Al-Imam An-Nawawi dalam Kitab Syarh Shahih Muslim, juz 1 halaman 75 mempersembahkan penjelasan hadis terkait dengan sikap penyebaran setiap diberita yang hadir kepadanya:
• Al-Imam An-Nawawi dalam Kitab Syarh Shahih Muslim, juz 1 halaman 75 mempersembahkan penjelasan hadis terkait dengan sikap penyebaran setiap diberita yang hadir kepadanya:
وَأَمَّا مَعْنَى الْحَدِيث وَالْآثَار الَّتِي فِي الْبَاب فَفِيهَا الزَّجْر عَنْ التَّحْدِيث بِكُلِّ مَا سَمِعَ الْإِنْسَان فَإِنَّهُ يَسْمَع فِي الْعَادَة الصِّدْق وَالْكَذِب ، فَإِذَا حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ فَقَدْ كَذَبَ لِإِخْبَارِهِ بِمَا لَمْ يَكُنْ
"Adapun makna hadits ini dan makna atsar-atsar yang semisalnya adalah, peringatan dari memberikan setiap informasi yang didengar oleh seseorang, sebab biasanya ia mendengar kabar yang benar dan yang dusta, maka kalau ia memberikan setiap yang ia dengar, berarti ia sudah berdusta sebab memberikan sesuatu yang tidak terjadi."
• Imam al-Qurthuby dalam kita Tafsir Al-Qurtubi jilid 16 halaman menyatakan :
وكذلك قولك للقاضي تستعين به على أخذ حقك ممن ظلمك فتقول فلان ظلمني أو غصبني أو خانني أو ضربني أو قذفني أو أساء إلي، ليس بغيبة. وعلماء الأمة على ذلك مجمعة
Begitu juga ucapan anda pada hakim meminta tolong untuk mengambil hak anda yang diambil orang yang menzalimi kemudian anda berkata pada hakim: Saya dizalimi atau dikhianati atau dighasab olehnya maka hal itu bukan ghibah. Ulama setuju atas hal ini.
• Imam al-Shan'ani dalam kitab Subulus Salam juz 4 halaman 188 menyatakan :
• Imam al-Shan'ani dalam kitab Subulus Salam juz 4 halaman 188 menyatakan :
والأكثر يقولون بأنه يجوز أن يقال للفاسق : يا فاسق , ويا مفسد , وكذا في غيبته بشرط قصد النصيحة له أو لغيره لبيان حاله أو للزجر عن صنيعه لا لقصد الوقيعة فيه فلا بد من قصد صحيح
"Kebanyakan ulama beropini bahwa boleh memanggil orang fasik (pendosa) dengan sebutan Wahai Orang Fasiq!, Hai Orang Rusak! Begitu juga boleh meggosipi mereka dengan syarat untuk bermaksud menasihatinya atau menasihati lainnya untuk menunjukan sikap si fasiq atau untuk mencegah semoga tidak melakukannya. Bukan dengan tujuan terjatuh ke dalamnya. Maka (tiruana itu) harus timbul dari maksud yang baik"
• Imam al-Nawawi dalam kitab Riyadlu al-Shalihin halaman 432 – 433 menunjukan tentang pengecualian kebolehan ghibah:
اِعْلَمْ أَنَّ الْغِيْبَةَ تُبَاحُ لِغَرْضٍ صَحِيْحٍ شَرْعِيٍّ لَا يُمْكِنُ الْوُصُوْلُ إِلَيْهِ إِلَّا بِهَا ، وَهُوَ بِسِتَّةِ أَسْبَابٍ : الأول: التظلم فيجوز للمظلوم أن يتظلم إلى السلطان والقاضي وغيرهما ممن له ولاية أو قدرة على إنصافه من ظالمه… الثاني: الاِسْتِعَانَةُ عَلَى تَغْيِيْرِ الْمُنْكَرِ وَرَدُّ الْعَاصِيْ إِلَى الصَّوَابِ فيقول لمن يرجو قدرته على إزالة المنكر: فلان يعمل كذا فازجره عنه ونحو ذلك، ويكون مقصوده التوصل إلى إزالة المنكر فإن لم يقصد ذلك كان حراما. الثالث: الاستفتاء فيقول للمفتي : ظلمني أبي أو أخي أو زوجي أو فلان بكذا فهل له ذلك ؟ وما طريقي في الخلاص منه وتحصيل حقي ودفع الظلم ؟ ونحو ذلك فهذا جائز للحاجة؛ ولكن الأحوط والأفضل أن يقول : ما تقول في رجل أو شخص أو زوج كان من أمره كذا ؟ فإنه يحصل به الغرض من غير تعيين، ومع ذلك فالتعيين جائز … الرابع: تحذير المسلمين من الشر ونصيحتهم .... الخامس: أن يكون مجاهرا بفسقه أو بدعته كالمجاهر بشرب الخمر ومصادرة الناس، وأخذ المكس وجباية الأموال ظلما وتولي الأمور الباطلة فيجوز ذكره بما يجاهر به ويحرم ذكره بغيره من العيوب إلا أن يكون لجوازه سبب آخر مما ذكرناه. السادس: التعريف فإذا كان الإنسان معروفا بلقب كالأعمش والأعرج والأصم والأعمى والأحول وغيرهم جاز تعريفهم بذلك، ويحرم إطلاقه على جهة التنقص، ....
"Ketahuilah bahwa ghibah itu dibolehkan untuk tujuan yang dibenarkan oleh syariat dengan catatan tidak ada cara lain selain itu. Sebab kebolehan melaksanakan ghibah ada enam:
Pertama, At-tazhallum (pengaduan atas kezaliman yang menimpa), orang yang terzalimi boleh sebut kezaliman seseorang terhadap dirinya dan mengadukannya kepada pegawanegeri penegak aturan dan pihak yang mempunyai kompetensi dan kapasitas (qudrah) untuk menyadarkan orang yang menzhalimi.
Kedua, al-isti'anah (meminta pertolongan) untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan perbuatan orang yang maksiat kepada kebenaran, ibarat menyampaikan kepada orang yang diperlukan bisa menghilangkan kemungkaran: "Fulan sudah berbuat begini (perbuatan buruk). Cegahlah dia."
Ketiga, Al-Istifta' (meminta fatwa), meminta fatwa dan pesan yang tersirat ibarat perkataan peminta pesan yang tersirat kepada mufti (pemdiberi fatwa): "Saya dizalimi oleh ayah atau saudara, atau suami…."
Keempat, at-tahdzīr (memperingatkan), mengingatkan orang-orang Islam dari perbuatan buruk dan memdiberi pesan yang tersirat pada mereka.
Kelima, orang yang menampakkan kefasikan dan sikap maksiatnya. Seperti menampakkan diri ketika minum miras (narkoba), berpacaran di depan umum, dan sejenisnya.
Keenam, memdiberi julukan tertentu pada seseorang. Apabila seseorang sudah dikenal dengan julukan tertentu ibarat al-A'ma (si buta), al-a'sham (si bisu)maka tidak apa-apa. Namun, haram penyebutan julukan kalau untuk menunjukkan kelemahan.
• Fatwa Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia Tahun 2010 tentang Infotaintmen;
• Paparan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia pada ketika program Halaqah tentang Bermuamalah Melalui Media Sosial pada tanggal 23 Januari 2017 yang menegaskan soal pentingnya tugas masyarakat dalam membangun literasi dalam memanfaatkan media digital;
• Makalah Dr. HM. Asrorun Ni'am Sholeh, MA dan Makalah Hj. Marhamah Saleh, Lc.,MA tentang Bermuamalah dengan Media Sosial;
• Penjelasan Dirjen Aptika Kominfo RI serta penjelasan Ahli dan Praktisi Media Digital Nu'man Luthfi dan Teddy Sukardi dalam pertemuan dengan komisi fatwa MUI yang menunjukan tentang peta duduk kasus di dunia digital, problematika dan langkah-langkah yang diambil serta pentingnya pelibatan seluruh masyarakat dalam mendorong memanfaatkan media umum untuk kemaslahatan dan mencegah efek buruk yang ditimbulkan;
• Pendapat, masukan, dan masukan anggota Komisi Fatwa MUI dalam rapat-rapatnya, yang terakhir Rapat Pleno Komisi Fatwa MUI tanggal 12 – 13 Mei 2017.
Pertama, At-tazhallum (pengaduan atas kezaliman yang menimpa), orang yang terzalimi boleh sebut kezaliman seseorang terhadap dirinya dan mengadukannya kepada pegawanegeri penegak aturan dan pihak yang mempunyai kompetensi dan kapasitas (qudrah) untuk menyadarkan orang yang menzhalimi.
Kedua, al-isti'anah (meminta pertolongan) untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan perbuatan orang yang maksiat kepada kebenaran, ibarat menyampaikan kepada orang yang diperlukan bisa menghilangkan kemungkaran: "Fulan sudah berbuat begini (perbuatan buruk). Cegahlah dia."
Ketiga, Al-Istifta' (meminta fatwa), meminta fatwa dan pesan yang tersirat ibarat perkataan peminta pesan yang tersirat kepada mufti (pemdiberi fatwa): "Saya dizalimi oleh ayah atau saudara, atau suami…."
Keempat, at-tahdzīr (memperingatkan), mengingatkan orang-orang Islam dari perbuatan buruk dan memdiberi pesan yang tersirat pada mereka.
Kelima, orang yang menampakkan kefasikan dan sikap maksiatnya. Seperti menampakkan diri ketika minum miras (narkoba), berpacaran di depan umum, dan sejenisnya.
Keenam, memdiberi julukan tertentu pada seseorang. Apabila seseorang sudah dikenal dengan julukan tertentu ibarat al-A'ma (si buta), al-a'sham (si bisu)maka tidak apa-apa. Namun, haram penyebutan julukan kalau untuk menunjukkan kelemahan.
• Fatwa Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia Tahun 2010 tentang Infotaintmen;
• Paparan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia pada ketika program Halaqah tentang Bermuamalah Melalui Media Sosial pada tanggal 23 Januari 2017 yang menegaskan soal pentingnya tugas masyarakat dalam membangun literasi dalam memanfaatkan media digital;
• Makalah Dr. HM. Asrorun Ni'am Sholeh, MA dan Makalah Hj. Marhamah Saleh, Lc.,MA tentang Bermuamalah dengan Media Sosial;
• Penjelasan Dirjen Aptika Kominfo RI serta penjelasan Ahli dan Praktisi Media Digital Nu'man Luthfi dan Teddy Sukardi dalam pertemuan dengan komisi fatwa MUI yang menunjukan tentang peta duduk kasus di dunia digital, problematika dan langkah-langkah yang diambil serta pentingnya pelibatan seluruh masyarakat dalam mendorong memanfaatkan media umum untuk kemaslahatan dan mencegah efek buruk yang ditimbulkan;
• Pendapat, masukan, dan masukan anggota Komisi Fatwa MUI dalam rapat-rapatnya, yang terakhir Rapat Pleno Komisi Fatwa MUI tanggal 12 – 13 Mei 2017.
melaluiataubersamaini bertawakal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG HUKUM DAN PEDOMAN BERMUAMALAH MELALUI MEDIA SOSIAL
Pertama : Ketentuan Umum :
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
• Bermuamalah ialah proses interaksi antar individu atau kelompok yang terkait dengan hubungan antar sesama insan (hablun minannaas) meliputi pembuatan (produksi), penyebaran (distribusi), kanal (konsumsi), dan penerapan informasi dan komunikasi.
• Media Sosial ialah media elektronik, yang dipakai untuk berpartisipasi, berbagi, dan membuat isi dalam bentuk blog, jejaring sosial, forum, dunia virtual, dan bentuk lain.
• Informasi ialah keterangan, pernyataan, gagasan, dan gejala yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang sanggup dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam banyak sekali kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non elektronik.
• Ghibah ialah penyampaian informasi faktual tentang seseorang atau kelompok yang tidak disukainya.
• Fitnah (buhtan) ialah informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)
• Namimah ialah memecah-belah antara satu dengan yang lain dengan menceritakan perbuatan orang lain yang berusaha menjelekkan yang lainnya kemudian berdampak pada saling membenci.
• Ranah publik ialah wilayah yang diketahui sebagai wilayah terbuka yang bersifat publik, termasuk dalam media umum ibarat twitter, facebook, grup media sosial, dan sejenisnya. Wadah grup diskusi di grup media umum masuk kategori ranah publik.
Kedua : Ketentuan Hukum
• Dalam bermuamalah dengan sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu'asyarah bil ma'ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma'ruf) dan mencegah kemunkaran (al-nahyu 'an al-munkar).
• Setiap muslim yang bermuamalah melalui media umum wajib memperhatikan hal-hal sebagai diberikut:
• Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan.
• Mempererat persaudaraan (ukhuwwah), baik persaudaraan ke-Islaman (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).
• Memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan Pemerintah.
• Setiap muslim yang bermuamalah melalui media umum diharamkan untuk:
• Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan.
• Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.
• Menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, ibarat info tentang final hidup orang yang masih hidup.
• Menyebarkan bahan pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar'i.
• Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai kawasan dan/atau waktunya.
• Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat sanggup diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.
• Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat sanggup diaksesnya konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
• Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar'i.
• Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini semoga seakan-akan berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram.
• Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, ibarat pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
• Aktifitas buzzer di media umum yang menjadikan penyediaan informasi meliputi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, memmenolong, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.
Ketiga : PEDOMAN BERMUAMALAH
• PEDOMAN UMUM
• Media sosial sanggup dipakai sebagai masukana untuk menjalin silaturrahmi, menyebarkan informasi, dakwah, pendidikan, rekreasi, dan untuk kegiatan positif di bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial serta budaya.
• Bermuamalah melalui media umum harus dilakukan tanpa melanggar ketentuan agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Hal yang harus diperhatikan dalam menyikapi konten/informasi di media sosial, antara lain:
• Konten/informasi yang berasal dari media umum mempunyai kemungkinan benar dan salah.
• Konten/informasi yang baik belum tentu benar.
• Konten/informasi yang benar belum tentu bermanfaa.
• Konten/informasi yang bermanfaa belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah publik.
• Tidak tiruana konten/informasi yang benar itu boleh dan pantas disebar ke ranah publik.
• PEDOMAN VERIFIKASI KONTEN/INFORMASI
• Setiap orang yang memperoleh konten/informasi melalui media umum (baik yang positif maupun negatif) tidak boleh pribadi menyebarkannya sebelum diverifikasi dan dilakukan proses tabayyun serta dipastikan kemanfaatannya.
• Proses tabayyun terhadap konten/informasi bisa dilakukan dengan langkah sebagai diberikut:
• Dipastikan aspek sumber informasi (sanad)nya, yang meliputi kepribadian, reputasi, kelayakan dan keterpercayaannya.
• Dipastikan aspek kebenaran konten (matan)nya, yang meliputi isi dan maksudnya.
• Dipastikan konteks kawasan dan waktu serta latar belakang ketika informasi tersebut disampaikan.
• Teknik memastikan kebenaran informasi antara lain dengan langkah :
• Bertanya kepada sumber informasi kalau diketahui
• Permintaan penjelasan kepada pihak-pihak yang mempunyai otoritas dan kompetensi.
• Upaya tabayyun dilakukan secara tertutup kepada pihak yang terkait, tidak dilakukan secara terbuka di ranah publik (seperti melalui group media sosial), yang bisa mengakibatkan konten/informasi yang belum terang kebenarannya tersebut beredar luar ke publik.
• Konten/informasi yang meliputi pujian, sanjungan, dan atau hal-hal positif tentang seseorang atau kelompok belum tentu benar, karenanya juga harus dilakukan tabayyun.
• PEDOMAN PEMBUATAN KONTEN/INFORMASI
• Pembuatan konten/informasi yang akan disampaikan ke ranah publik harus berpedoman pada hal-hal sebagai diberikut:
• memakai kalimat, grafis, gambar, bunyi dan/atau yang simpel, simpel difahami, tidak multitafsir, dan tidak menyakiti orang lain.
• konten/informasi harus benar, sudah terverifikasi kebenarannya dengan merujuk pada pedoman verifikasi informasi sebagaimana belahan A pedoman bermuamalah dalam Fatwa ini.
• konten yang dibentuk menyajikan informasi yang bermanfaa.
• Konten/informasi yang dibentuk menjadi masukana amar ma'ruf nahi munkar dalam pengertian yang luas.
• konten/informasi yang dibentuk berdampak baik bagi akseptor dalam mewujudkan kemaslahatan serta menghindarkan diri dari kemafsadatan.
• menentukan diksi yang tidak provokatif serta tidak membangkitkan kebencian dan permusuhan.
• kontennya tidak meliputi hoax, fitnah, ghibah, namimah, bullying, gosip, ujaran kebencian, dan hal lain yang terlarang, baik secara agama maupun ketentuan peraturan perundang-undangan.
• kontennya tidak mengakibatkan dorongan untuk berbuat hal-hal yang terlarang secara syar'i, ibarat pornografi, visualisasi kekerasan yang terlarang, umpatan, dan provokasi.
• Kontennya tidak meliputi hal-hal pribadi yang tidak layak untuk disebarkan ke ranah publik.
• Teknik memastikan kemanfaatan konten/informasi antara lain dengan jalan sebagai diberikut:
• bisa mendorong kepada kebaikan (al-birr) dan ketakwaan (al-taqwa).
• bisa mempererat persaudaraan (ukhuwwah) dan cinta kasih (mahabbah)
• bisa menambah ilmu pengetahuan
• bisa mendorong untuk melaksanakan anutan Islam dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
• tidak melahirkan kebencian (al-baghdla') dan permusuhan (al-'adawah).
• Setiap muslim dihentikan mencari-cari aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain, baik individu maupun kelompok, kecuali untuk tujuan yang dibenarkan secara syar'y ibarat untuk penegakan aturan atau mendamaikan orang yang bertikai (ishlah dzati al-bain).
• Tidak boleh menjadikan penyediaan konten/informasi yang meliputi tentang hoax, aib, ujaran kebencian, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi atau kelompok sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, ibarat profesi buzzer yang mencari keutungan dari kegiatan terlarang tersebut.
• PEDOMAN PENYEBARAN KONTEN/INFORMASI
• Konten/informasi yang akan disebarkan kepada khalayak umum harus memenuhi kriteria sebagai diberikut:
• Konten/informasi tersebut benar, baik dari sisi isi, sumber, waktu dan tempat, latar belakang serta konteks informasi disampaikan.
• Bermanfaat, baik bagi diri penyebar maupun bagi orang atau kelompok yang akan mendapatkan informasi tersebut.
• Bersifat umum, yaitu informasi tersebut cocok dan layak diketahui oleh masyarakat dari seluruh lapisan sesuai dengan keragaman orang/khalayak yang akan menjadi sasaran sebaran informasi.
• Tepat waktu dan kawasan (muqtadlal hal), yaitu informasi yang akan disebar harus sesuai dengan waktu dan tempatnya sebab informasi benar yang disampaikan pada waktu dan/atau kawasan yang tidak sama bisa mempunyai perbedaan makna.
• Tepat konteks, informasi yang terkait dengan konteks tertentu tidak boleh dilepaskan dari konteksnya, terlebih ditempatkan pada konteks yang tidak sama yang mempunyai kemungkinan pengertian yang tidak sama.
• Memiliki hak, orang tersebut mempunyai hak untuk penyebaran, tidak melanggar hak ibarat hak kekayaan intelektual dan tidak melanggar hak privacy.
• Teknik memastikan kebenaran dan kemanfaatan informasi merujuk pada ketentuan belahan B angka 3 dan belahan C angka 2 dalam Fatwa ini.
• Tidak boleh menyebarkan informasi yang meliputi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis yang tidak layak sebar kepada khalayak.
• Tidak boleh menyebarkan informasi untuk menutupi kesalahan, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, membangun opini semoga seakan-akan berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak.
• Tidak boleh menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke ranah publik, ibarat ciuman suami istri dan pose foto tanpa menutup aurat.
• Setiap orang yang memperoleh informasi tentang aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain tidak boleh menyebarkannya kepada khalayak, meski dengan alasan tabayyun.
• Setiap orang yang mengetahui adanya penyebaran informasi tentang aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain harus melaksanakan pencegahan.
• Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dengan cara mengingatkan penyebar secara tertutup, menghapus informasi, serta mengingkari tindakan yang tidak benar tersebut.
• Orang yang bersalah sudah menyebarkan informasi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis kepada khalayak, baik sengaja atau tidak tahu, harus bertaubat dengan meminta mapun kepada Allah (istighfar) serta; (i) meminta maaf kepada pihak yang dirugikan (ii) meratapi perbuatannya; (iii) dan kesepakatan tidak akan mengulangi.
Keempat : Rekomendasi
• Pemerintah dan DPR-RI perlu merumuskan peraturan perundang-undangan untuk mencegah konten informasi yang berperihalan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan, semangat persatuan dan nilai luhur kemanusiaan.
• Masyarakat dan pemangku kebijakan harus memastikan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi didayagunakan untuk kepentingan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan.
• Pemerintah perlu meningkatkan upaya mengedukasi masyarakat untuk membangun literasi penerapan media digital, khususnya media umum dan membangun kesadaran serta tanggung tanggapan dalam mewujudkan masyarakat berperadaban (mutamaddin).
• Para Ulama dan tokoh agama harus terus mensosialisasikan penerapan media umum secara bertanggung tanggapan dengan mendorong memanfaatkannya untuk kemaslahatan umat dan mencegah mafsadat yang ditimbulkan.
• Masyarakat perlu terlibat secara lebih luas dalam memanfaatkan media umum untuk kemaslahatan umum.
• Pemerintah perlu mempersembahkan contoh untuk memberikan informasi yang benar, bermanfaa, dan jujur kepada masyarakat semoga melahirkan kepercayaan dari publik.
Kelima : Ketentuan Penutup
• Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal diputuskan dengan ketentuan kalau di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
• Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan sanggup mengetahuinya, menghimbau tiruana pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 16 Sya'ban 1438 H
13 M e i 2017 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua Sekretaris
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA DR. HM. ASRORUN NI'AM SHOLEH, MA
=====================================================
loading...

0 Response to "Fatwa Mui Wacana Penggunaan Media Umum (Medsos)"
Posting Komentar